MANUSIA NILAI MORAL DAN HUKUM
Meskipun
banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah
disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia,
dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh
setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara
holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian
yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.Definisi yang mengarah pada
pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang
dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena
ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai
dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai
landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak.
Nilai
itu penting bagi manusia, baik nilai itu dipandang dapat mendorong manusia
karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena
ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang
sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu
dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang
yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya
yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan
apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya
bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri
manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan. Nilai memiliki polaritas
dan hirarki, antara lain:
a.
Nilai menampilkan diri dalam aspek
positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk;
keindahan dan kejelekan.
b.
Nilai tersusun secara hierarkis
yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai
(value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro
membagi hierarki nilai pokok yaitu:
a.
Nilai material yaitu sesuatu yang
berguna bagi unsur jasmani manusia.
b.
Nilai vital yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c.
Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang
berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi
empat macam:
Ø Nilai
kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
Ø Nilai
keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
Ø Nilai
kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
Ø Nilai
religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui
akal budi dan nuraninya.
Hal-hal
yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja,
bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan
mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai
juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak
konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif
ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang
lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah.
Norma
berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku,
suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat
mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma
ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran.
Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
a.
Norma kepercayaan atau keagamaan
b.
Norma kesusilaan
c.
Norma sopan santun/adab
d.
Norma hukum
Dari
norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat
dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai
dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin
yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan
mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi
manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang
dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral
adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Manusia dan
Hukum
Hukum
dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di
mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu
akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk
mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial
(social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata
pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
Tujuan Hukum
Banyak teori
atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
1. Prof.
Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu
menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama
pula.
2. Prof. Mr.
Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama
manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan
menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny :
Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya
guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound
berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law is tool
of social engineering).
5. Muchatr
Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.
Tujuan
hukum menurut hukum positif Indonesia termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat yang berbunyi “. Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pada
umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain
itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya
sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan
ketentuan yang sedang berlaku.
Penegakan
Hukum
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan
kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah
menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.
Ketika
memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini
harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan
secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan
sanksi yang sepadan.
Penegakkan
hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum.
Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu
negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar
perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia
(HAM) –nya berjalan baik.
Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan. Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum
ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
a. Substansi Hukum
Yaitu materi atau muatan hukum.
Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
b. Aparat
Penegak Hukum
Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan
pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen
dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
c. Budaya Hukum
Budaya hukum yang dimaksud adalah
budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk
dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan
bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama
dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan
hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama
sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi
dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya
memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan
kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat
tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja.
Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah
luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa
bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman
bersikap tindak ataupun sebagai petugas.
Dalam
suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan
sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law)
dan budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja
dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat
dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana
menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.
Contoh
paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini
secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap
kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif? Ternyata belum.
Karena, fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak
memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk
merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas.
Oleh
karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat.
Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal adalah suatu kemestian.
Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak
tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun
memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun
harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka,
program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus
digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara
untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal
yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.
Hubungan
Hukum dan Moral
Antara
hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak
disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai
moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma
moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga
membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak
di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral
atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan
antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa
ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas
hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak
kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan
moral sangat jelas.
Perbedaan
antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih
dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam
kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian
dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral
dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas
lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang
berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas.
Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman.
Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian
luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi
dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum
didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun
hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu
harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan
atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara
demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi
masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai
hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan
Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1. Dilihat dari
dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral
berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari
otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan
moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari
pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari
sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari
tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara,
sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari
waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral
secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
Problematika
Hukum
Problema
paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hukum
oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
a. Aparatur
penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang
berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam
jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
b. Peneggakkan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi
kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu
mensejahterakan aparatur penegak hukum.
c. Kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat
pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap
adil.
d. Para
pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan
aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk
dijalankan.
e. Kurang diperhatikannya
kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur
penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin
ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem
berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi
dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang
memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Pekerjaan besar
menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan
agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan
apa yang dijanjikan dalam hukum.
Comments
Post a Comment