BATU BETARUB
Di kampung Naning, Desa
Tempapan Kuala, termasuk wilayah Kecamatan Teluk Keramat, terdapat sebuah batu
besar dan tidak jauh dari tempat itu
pula ada pulu sebuah batu yang
menyerupai seekor ikan. Batu besar itu dinamakan Batu Betarub, karena bentuknya
seperti sebuah Tarub. Tarub adalah bentuk bangunan rumah yang biasanya
didirikan di depan rumah sebagai bangunan sementara, yang dipergunakan untuk tempat
tamu undangan bila ada perayaan seperti pesta perkawinan, khitanan, pindah
rumah baru; sepanjang ruangan rumah (serambi) tidak mampu menampung para
undangan. Setelah selesai acara, maka tarub itu dibongkar kembali. Bangunan
tarub mempunyai atap, lantai tetapi tidak berdinding.
Cerita rakyat Batu
Betarub ada kaitannya dengan suatu kepercayaan di kalangan orang-orang tua,
yaitu dilarang menertawakan kucing, karena akan mengundang guntur dan petir
serta halilintar yang disertai hujan dan angin ribut yang mungkin akan
mendatangkan suatu bencana. Tetapi bila keadaan cuaca demikian, dianjurkan pula
untuk menggesek-gesekkan sepotong besi dengan sepotong temiang (sejenis bambu
yang kulitnya agak kesat dan mempunyai ruas-ruas yang panjang). Gesekan kedua
benda itu akan menimbulkan bunyi yang akan merangsang saraf gigi dan gigi akan
terasa ngilu. Sambil menggosok-gosokkan itu dilanturkan pula semacam mentera
yang berbunyi “Jauh gigi lentar jauh. Ngilu gigi lentar ngilu. Sittu’ lappa’
burung, sinnun lappa’ babi. Sittu urrung, sinnun jadi”. Maksud dari mantera itu
ialah agar rumah di mana sebagai tempat menggesek-gesekkan besi dengan temiang
itu, agar guntur, petir, hujan dan angin cepat reda dan rumah tersebut
terhindar dari sambaran petir. Kisah selengkapnya kejadian Batu Betarub
tersebut adalah sebagai berikut:
%
% %
Pada jaman dahulu,
tersebutlah seorang penduduk di sebuah kampung akan mengawinkan anak
perempuannya. Sebagai satu-satunya anak perempuan, maka perayaaan pesta
perkawinan akan dilaksanakan secara meriah. Tidak hanya penduduk kampung itu
yang akan diundang, namun juga beberapa warga yang berasal dari kampung lain
akan diundang dengan harapan agar pesat itu tambah meriah dan semarak. Untuk menampung para tamu, maka di depan
rumah didirikan sebuah tarub yang cukup luas. Selang dua hari menjelang pesta
tarub dan keperluan lainnya telah selesai dikerjakan berkat semangat
gotong-royong dari warga kampung.
Pada hari ‘motong’,
yaitu sehari menjelang pesta, kegiatan dirumah mempelai perempuan itu semakin
meningkat, tetengga semakin sibuk dangan tugas pekerjaannya masing-masing.
Hewan-hewan seperti sapi, kambing, ayam, dan ititk untuk lauk pauk yang akan
disuguhkan bagi para undangan telah mulai dipotong (disembelih). Di bagian
dapur, juru masak sibuk membuat bumbu dan diruang tengah penata tempat sibuk
pula menata pelaminan mempelai, sementara itu tarub dihias agar memberikan
kesan indah dan anggun.
Di saat-saat kesibukan
itu, muncullah dihalam seorang perempuan miskin peminta-minta sambil membimbing
anaknya. Semula orang-orang tidak begitu acuh dengannya. Namun kemudian
datanglah seseorang membawa sepiring nasi dan memberikan kepadanya. Dengan
tangan gemetar perempuan peminta-minta itu menyambutnya, tetapi ketika
dilihatnya isi pering itu ia terkejut. Isi piring itu ternyata hanyalah nasi
sisa yang bercampur dengan tulang-tulang yang bekas dimakan.
Belum sempat ia
berfikir, datang pula seseorang yang membawa usus-usus ayam dan dengan
serta-merta membelitkannya keleher anak si peminta-minta tersebut, persis
seperti seuntai kalung. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu tertawa,
anak-anak bersorak-sorai, dianggapnya hal itu lucu dan menggelikan hati.
Mendapatkan perlakuan yang demikian, maka cepat-cepat si perempuan miski itu pulang, meninggalkan keramaian dipesta
itu. Hatinya pedih bagaikan disayap sembulu sehingga sampai menitikkan air
mata. Rasa lapar yang dirasakan dengan sekejap hilang sirna tak dihiraukannya.
Sementara, orang-orang dirumah itu kembali berkerja sebagaimana biasa
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apapun.
Pada malam harinya,
suasana dirumah mempelai perempuan itu semakin sibuk, terutama diruangan tengah
yaitu tempat pelaminan kedua mempelai. Dari arah dapur berhembus bau bumbu
masakan yang merangsang selera makan. Tetapi menjauh disana, digubuknya yang
hampir roboh, perempuan miskin yang
malang itu semalam-malaman tidak dapat tidur sepicingpun. Masih jelas terbayang
dimatanya apa yang dialaminya pada siang itu. Sampai hati benar orang-orang
yang memperlakukannya sihina itu. Sementara sang anak tidur nyenyak dengan
beralaskan tikar-tikar yang telah usang.
Hari yang dinantikan
oleh orang-orang yang ingin berpesta tibalah kini. Suasana riang gembira nampak
meliputi rumah mempelai perempuan. Cuaca pagi yang cerah, sinar mentari yang
lembut, awan putih berarak dilangit biru, sepoi-sepoi angin bertiup secara
perlahan-lahan, semua itu tidak menampakkan bahwa hujan akan turun. Alam yang
begitu ramah sepertinya ikut bergembira dan ingin menyaksian saat-saat bahagian
kedua mempelai duduk bersanding. Para tamu undangan laik-laki dan perempuan
telah mulai berdatangan dan disambut oleh tuan rumah dengan wajah cerah dan
penuh senyum. Setiap tamu memberikan ucapan selamat dan merasa kagum akan
keindahan dan keanggunan pelaminan tempat mempelai bersanding yang ditata
sedemikian rupa.
Sementara itu, dari
kejauhan mulai terdengar suara arak-arakan rombongan mempelai lelaki yang
semakin lama semakin dekat juga dan akhirnya tibalah didepan tarub. Setelah
diadakan upaca penyambutan, kemudian mempelai lelaki diwaba keruang tengah
tempat tamu perempuan, kemudian disitulah meraka duduk bersanding. Tamu-tamu
saling berbisik-bisik menuji-muji kedua mempelai yang sebentar-bentar
menebarkan senyum kearah tamunya.
Tetapi, lain pula
keadaan ditarub. Ketika tamu sedanga asyik berbincang, muncullah perempuan
peminta-minta itu. Dengan tergesa-gesa tiba-tiba ia melemparkan seekor kucing
kedalam tarub lalu berlari pulang. Kucing itu diberinya baju dan celana,
sedangkan pada ekornya yang bengkok didikatkan sehelai kain perca. Kucing itu
melompat-lompat dan berguling-guling berusaha melepakan kain perca tersebut,
tapi sia-sia. Tingakh laku kucing itu mengundang tawa para tamu yang hadir.
Belum sempat kucing itu ditangkap, ia telah berlari keruang tenagh sambil
melompat kesana-kemari, berguling-guling, berbaring dengan kaki-kakinya keatas
dan menerjang-nerjang. Lalu perempuan yang melihatnya tertawa geli, anak-anak
bersorak-sorak bukan main riuhnya. Suasana jadi tambah ramai, karena diantara
tamu perempuan itu ada yang mengidap penyakit latah. Mereka ikut menirukan
kucing itu, melompat, jongkok, meramgkak, yang lainnya lalu memukuli tubuhnya
dan tubuh tamu lainnya. Ada pula yang menjerit dan memaki-maki. Kedua mempelai
ikut terbawa suasana, tubuhnya kemudaian bergoyang-goyang menahan tawanya.
Tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha menangkap kucing itu.
Dalam suasana hiruk
pikuk, yang demikian, mendadak suasana alam disekitarnya berubah. Awan hitam
tiba-tiba meliputi kampung itu. Angin ribut mulai bertiup, hujanpun bagaikan
dicurahkan dari langit. Kilat dan petir datang beruntun. Pepohonan di
sekitarnya mulai tumbang bergelintangan. Tak seorangpun yang berani keluar
rumah. Suara tawa kini bertukar dengan pekik jerit, anak-anak berteriak
ketakutan. Tidak ada yang mengira akan terjadi perubahan cuaca secepat itu.
Alam yang tadinya ramah, sekarang berubah dan tidak ingin bersahabat. Seluruh
penghuni rumah itu dicekam oleh rasa ketakutan.
Akan halnya perempuan
itu. Cepat ia berlari pulang, namun ia tak berani masuk ke rumahnya, takut
kalau-kalau rumah itu roboh diterjang angin. Sambil mengggendong anaknya ia
berteduh dibawah serumpun bambu temiang. Tiupan angin yang keras membuat
batang-batang kemiang beruas panajng itu berbenturan dan gesekannya menimbulkan
bunyi yang merangsang saraf gigi. Dipeluk anaknya erat-erat. Tanpa sadar
terdengar suaranya memibon kepada Sang Pencipta: “Jauh gigi lentar jauh. Ngilu
gigi lentar ngilu. Sittu’ lappa’ burung, sinnun lappa’ babi. Sittu urrung,
sinnun jadi”.
Berulang ulang kata itu
diucapkannya, diiringi bunyi gesekan bambu temiang, diterangi kilat, dentum
guntur dan petir serta gemuruh deru angin. Tiba-tiba alam sekitarnya menjadi
terang bercahaya dan bersamaan dangan itu terdengar bunyi ledakan yang dahsyat.
Perempuan itu memekik sambil menutup telinga dan memejamkan matanya. Ketika
cahaya telah sirna dan bunyi ledakan dahsyat itu telah hilang, ia membuka
matanya kembali. Alangkah herannya ia, ketika alam disekelilingnya tenang,
hening dan sepi. Daun dan rerumputan diam tak bergerak. Angin ribut yang
tadinya seperti akan memusnahkan setiap yang menghadangnya, hujan yang bagaikan
dicurahkan dari langit, guntur dan petir serta halilintar yang seolah akan
menghancurkan jagat raya, kini tiba-tiba sirna , kecuali tetes air hujan yang
tersisa dan jatuh dari daun temiang.
Yang paling
mengherankan lagi, rumah dan tarub besar itu telah menjadi batu akibat disambar
petir. Semua tamu dan penghuni didalamnya tidak seorang pun yang berhasil
menyelamatkan diri. Mereka terperangkap dan terkurung di dalam batu besar itu
yang masih mengeluarkan asap panas. Perempuan itu masih sempat mendengar suara
rintihan seperti orang kehausan yang datang dari dalam batu itu. Sampai
beberapa hari sejak peristiwa itu, konon suara rintihan itu masih sering
terdengar. Upaya memberikan bantuanair hanya dapat dilakukan dengan menggunakan
sepotong bambu yang dimasukkan melalui sebuah lubang kecil yang terdapat pada
salah satu dindingnya.
Demikianlah asal kejadian
Batu Betarub yang terdapat di Kampung Naning, Desa Tempapan Kuala, Kecamatan
Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Tidak jauh dari Batu Betarub itu terdapat pula sebuah batu yang menyerupai
seekor ikan. Kebiasaan tidak boleh mentertawakan kucing, menggesek sepotong
temiang dengan sepotong besi bilamana hujan dan angin ribut serta halilintar
berkecamuk dengan tujuan agar angin ribut dan hujan cepat reda terutama agar
petir tidak sampai menyambar rumah-rumah mereka.
Comments
Post a Comment