Konsep Kewirausahaan Sosial


            Pada konteks kewirausahaan sosial, paling tidak akan ditemukan tiga istilah yang saling berkaitan yaitu social enterpreneurship (kewirausahaan sosial), social enterpreneur (lembaga/institusi atau perusahaan sosial). Berikut ini masing-masing terminologi akan dijelaskan lebih lanjut.
Menurut kelompok peneliti “EMES” definisi/makna dari elemen sosial pad akewirausahaan sosial adalah :
a)      An activity launched by a group of citizen
b)      Decision making power not based on capital ownership
c)      A participatory nature involving those affected by nature
d)     Limited profit distribution
e)      An explicit aim to benefit the commmunity
Berdasarkan paparan dimuka maka dapat dikatakan bahwa elemen sosial dalam kata kewirausahaan sosial mengacu pada sebuah aktivitas yang diinisiasi dan dilakukan oleh warga, tingkat pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada kepemilikan modal, serta tujuan dan target yang jelas untuk menjadi bermanfaat bagi masyarakat.
Gerakan kewirausahaan sosial sebenarnya sudah lama berlangsung. Artinya, sebelum dunia mengenal istilah ini, aktivitasnya sendiri sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Sepuluh tahun kebelakang, istilah ini mulai muncul dan digunakan secara luas, terutama sejak dianugerahinya Mohamad Yunus sebagai pemenang hadiah nobel. Ia muncul dengan gagasan bahwa pemberian bantuan langsung kepada kaum miskin hanya akan mengkerdilkann mereka. Sebagai solusinya, dosen ekonomi di salah satu perguruan tinggi Bangladesh ini mengeluarkan program kredit mikro tanpa agunan untuk menolong masyarakat miskin kebanyakan kaum ibu yang hidup di lingkungannya. Inilah spirit yang disebut sebagai kewirausahaan sosial, yaitu sebuah upaya untuk memanfaatkan mental entrepreuneur (yaitu mental inovatif, kerja keras, berani ambil resiko, dll) untuk sebesar-besarnya kebermanfaatan bagi masyarakat. Inilah antusiasme bisnis yang tidak menghubungkan indikator kesuksesannya dengan kinerja keuangan, melainkan lebih kepada seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan kewirausahaan sosial
Supply Side
Demand Side
Increase in global per capita wealth/improved social mobility
Extended productive lifetime
Increase in number of democratic government
Increased power of multinational corporation
Better education levels
Improved communication
Rising crised in environment and health
Rising economic inequality
Government inefficiencies in public service delivery
Retreat of government in face of free market ideology
More develop role for NGOs
Resource competition

Berdasarkan tabel dimuka, dapat dijelaskan bahwa faktor  yang berpotensi mendorong berkembangnya kewirausahaan sosial dari sisi suplai antara lain adalah :
1)      Meningkatkan kesejahteraan/pendapatan perkapita secara umum maupun mobilitas sosial yang semaki meningkat.
2)      Meningkatkan usia produktif dari manusia/individu.
3)      Secara kuantitas jumlah pemerintahan yang demokratis semakin meningkat.
4)      Meningkatnya kekuasaan/daya jangkau/kekuatan penawaran dari perusahaan multinasional.
5)      Tingkat pendidikan yang semakin baik.
6)      Jaringan komunikasi yang semakin baik.
Sedangkan, dari sisi demand (tuntutan) hal-hal yang berpotensi meningkatkan gerakan kewirausahaan sosial adalah :
1)      Meningkatnya krisis di ranah lingkungan dan kesehatan,
2)      Meningkatnya ketidakadilan ekonomi di masyarakat.
3)      Kurangnya efisiensi pelayanan publik.
4)      Kemunduran/berkurangnya peran pemerintah dalam ranah perdagangan bebas.
5)      Meningkatnya peran-peran dari organisasi non pemerintah.
6)      Kompetisi untuk mendapatkan sumber daya.
Hal-hal diatas, secara sederhana dapat dikatagorikan sebagai ‘struktur’ yang berpotensi mendorong terjadinya suatu praktik/tindakan, yang dalam hal ini adalah praktik kewirausahaan sosial. Satu hal yang dapat kita tangkap lagi adalah bahwa gerakan kewirausahaan sosial sudah tidak lagi tertahankan perkembangannya. Persepsi masyarakat akan “kurangnya efisiensi pelayanan publik” atau “ketidakadilan ekonomi di masyarakat” telah mendorong, segelintir individu untuk menemukan efisiensi pelayanan dengan caranya sendiri, ataupun mendorong keadilan di masyarakat berbasis idealisme yang dipegangnya.
            Satu hal ini adalah gerakan yang positif dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Namun demikian, jika tidak berhati-hati, hal ini bisa dicurugai sebagai upaya-upaya penonjolan individu, kampanye terselubung dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu keterbukaan dari semua pihak untuk dapat berlapang dada dan mensinergiskan aktivitas kewirausahaan sosial dengan derap langkah pembangunan. Hal ini adalah sesuatu yang sangat dimungkinkan, mengingat aktivitas kewirausahaan sosial yang selama ini sudah berlangsung telah mampu ‘menambal’ sisi-sisi kebutuhan masyarakat yang belum/sulit sekali tersentuh oleh program pembangunan Nasional. Pada dua kali penyelenggaraan Social Enterpreneueship Summit, terungkap bahwa di Inggris, pemerintahannya sudah sangat mengakui peran penting gerakan kewirausahaan sosial. Bahkan, mereka siap untuk mendorong dan memberi dukungan penuh apabila terbukti bahwa program tersebut dapat meningkatkan atau bahwa menggantikan pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemerintah. Ini adalah sebuah inspiras yang seharusnya dapat mulai dipikirkan untuk diaplikasikan di Indonesia. Dan tentunya, ini adalah sebuah pekerjaan rumah bagi semua stakholder pembangunan. Mengapa? Karena jika ini akan dilaksanakan, kita akan membutuhkan kelahiran para agen perubahan ini secara sistematis dan terancana, tidak hanya menunggu kemunculan mereka secara alamiah. Terbesit satu keyakinan bahwa hal ini sangat mungkin untuk dilakukan. Mengapa? Karena banyak pakar pendidikan yang percaya Mindest dan Method of Entrepreneurship dapat diajarkan kepada peserta didik.
Bagaimana mengukur kesuksesan kewirausahaan sosial?
            Menurut Dees (2002: xxxi) cara terbaik mengukur kesuksesan kewirausahaan sosial adalah bukan dengan menghitung jumlah profit yang dihasilkan, melainkan pada tingkat dimana mereka telah menghasilkan nilai-nilai sosial (social value). Para wirausaha sosial bertindak sebagai agen perubahan dalam sektor sosial dengan berbagai cara sebagaimana dikemukakan oleh Dees dkk (2002:xxxi).
            Jelas sekali dalam gambaran Dees tergambar bahwa kewirausahaan sosial merupakan sebuah gerakan dengan misi sosial, yang diusahakan dengan upaya-upaya menemukan peluang dan mengolahnya dengan inovasi dan proses belajar yang tiada henti serta kesiapan untuk bertindak tanpa dukungan sumber daya yang memadai.
            Satu hal, semangat yang muncul ketika sedang membahas kewirausahaan sosial adalah semangat pemberian manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat, dengan cara yang inovatif dan pendekatan yang sistemik (bukan dengan jalan yang tanpa perencanaan dan pemikiran matang sebelumnya). Dibalik itu semua, sebenarnya hal ini menunjukkan usaha-usaha untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang memang telah melakukan hal-hal yang luar biasa tersebut.
Sekali lagi, usaha untuk mensosialisasikan istilah kewirausahaan sosial adalah untuk memberikan penghormatan terhadap pihak-pihak yang memang layaak menyandang gelar tersebut. Yaitu mereka yang telah memberikan waktunya, pemikirannya, tenaganya, modalnya, untuk sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat.
Definisi yang lebih kompleks mengenai kewirausahaan sosial diungkapkan oleh Martin & Osberg (2007:35).
.....social entrepreneurship as having the following three components : (1) identifying a stable but inherently unjust equilibrium that causes the exclusion, marginalization, or suffering of a segment of humanity that lacks the financial means or political clout to achieve any transformative benefit on its own; (2) identifying an opportunity in this unjust equilibrium, developing a social value proposition, and bringing to bear inspiration, creativity, direct action, courage, and fortitude, thereby challenging the stable state’s hegemony (3) forging a ne, stable equilibrium that release trapped potential or alleviates the suffering of the targeted group, and through imitation and the creation of a stable ecosystem around the new equilibrium ensuring a better future for the targeted group and even society at large.
Satu hal yang dapat diungkapkan adalah bahwa kewirausahaan sosial identik dengan usaha-usaha peningkatan nilai kemanusiaan manusia, yang biasanya dimulai dengan identifikasi peluang-peluang yang dapat dikerjakan. Tentu saja, untuk dapat memulainya diperlikan sebuah inspirasi yang besar dan kuat, serta didukung oleh kreativitas dan kebaranian untuk bertindak. Sehingga pada akhirnya kegiatan ini dapat benar-benar bermanfaat sosal.
SOCIAL ENTERPRISE
            Gerakan kewirausahaan sosial, secara umum dimulai terlebih dahulu oleh tindakan atau aktivitasindividu. Namun, pada perjalanannya, setelah kegiatan tersebut semakin membesar lingkup maupun dinamikanya, maka akan dibutuhkan sebuah insitusi untuk menjadi payungnya. Payung yang menaungi kegiatan kewirausahaan sosial inilah kemudian yang lazim disebut sebagai social enteprise. Hal ini menjadi diperlukan untuk membedakannya dengan perushaan/organisasi ‘biasa’ yang memang murni bergerak dengan tujuan mendapatkan untung sebesar-besarnya (business enterprise). Berikut ini adalah definisi menurut Pepin:
            A social enterprise is an organisation which is involved in enterprising activities for social aims, with social ownerhip and democratic principals at its core (Peppin, 2009: 3)
Sementara itu, Social Enterprise Coalition (dalam Peppin) mendeskripsikan social enterprise sebagai
          .....distinctive because their social or environmental purpose is central to what they do. Rather than maximising shareholder value their main aim is to generate profit to further their social and environment goals.
Berdasarkan uraian dimuka dapat dikatakan bahwa social enterprise adalah sebuah lembaga yang bergerak dengan tujuan sosial namun dalam operasionalnya menggunakan prinsip dan aplikasi bisnis.
Kewirausahaan bergerak dengan cara yang khas dan berbeda dengan pola konvensional lainnya. Menurut John Peppin terdapat beberapa cara bagaimana aktivitas kewirausahaan sosial bergerak di masyarakat:
a.       Business activity with primarilly social objectives in which surpluses are principally reinvested for that purposes-often indentified as a social enterprise.
b.      Activities performed by the valuntary sector (with in the charity or as an external trading company) where a fee is charged in return for the delivery of a product or service (earned income), regardless of wheter it is a mission or non-mission related profit making business. This would include a commercial activity or trading company activity or trading  company activity to benefit a third sector organisation.
Artinya bahwa aktivitas kewirausahaan sosial dapat bergerak di wilayah bisnis yang tujuan sosial yang jelas, ataupun disektor voluntary dengan distribusi profit yang jelas. Lembaga yang menjadi payung dari gerakan kewirausahaan sosial sering dikenal sebagai social enterprise.
Berbagai penelitian yang dilakukan didalam sepulih tahun terakhir, telah menambah kaya dan tajam definisi serta perbedaan perusahaan sosial (social enterprise) dengan perusahaan pada umumnya (mainstream enterprise), antara lain :
Ø  Mereka memiliki tujuan/target sosial.
Ø  Aset dan kekayaan digunakan untuk menciptakan manfaat bagi masyarakat (community benefit).
Ø  Mereka melakukan hal-hal dimuka (paling tidak) dengan menjadi bagian dari pemain pasar industri.
Ø  Keuntungan dan surplus tidak didistribusikan kepada pemegang saham, seperti layaknya bisnis pada umumnya.
Ø  Anggota atau karyawan memiliki peran dalam pengambilan keputusan.
Ø  ‘enterprise’ memiliki akuntabilitas terhadap anggota dan komunitas yang lebih luas.
Ø  Terdapat dua atau tiga garis paradigma ( double-or triple bottom line paradigm). Asumsinya adalah bahwa perusahaan sosial ( social enterprise) yang paling efektif memiliki keuangan yang sehat (healthy financial) dan pengembalian sosial (social return)- daripada keuntungan yang tinggi disatu sisi dan rendah disisi yang lain. (Thompson & Doherty, 2006 : 2).
Uraian dimuka, dengan sangat gamblang telah menjelaskan perbedaan antara perusahaan sosial (social enterprise) dengan perusahaan bisnis biasa (mainstream enterprise).

Satu hal bahwa, perbedaan bukan merupakan sesuatu yang bertujuan untuk diperdebatkan. Karena diantara perbedaan tersebut, terdapat irisan yang sama-sama dimiliki olehkewirausahaan arus utama (mainstream entrepreneurship) dan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) yaitu semangat untuk memandirikan diri sendiri (pada tingkat minimal) dan memandirikan orang lain serta masyarakat (pada tingkat optimal).

Comments

Popular posts from this blog

Filsafat Pendidikan Matematika Menurut Paul Ernest

Rendahnya Relevansi Pendidikan

CARA MENYUSUN MACAM-MACAM TES URAIAN, KELEBIHAN, DAN KEKURANGAN TES URAIAN