Filsafat Konstruktivisme
1.
Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan
isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.
Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran.
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat
bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang
belajar. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara
sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003).
Filsafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan
objek, fenomena dan lingkungan. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat
Poedjiadi (2005:70) dalam Adisusilo (2006:1), bahwa konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan. Rekonstruksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki sebelumnya setelah
berinteraksi dengan lingkungannya.
Supardan (2004:1) mendefinisikan
konstruktivisme sebagai suatu filosofi yang berpendapat bahwa pengetahuan
sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima melalui pikiran dan komunikasi.
Pandangan ini bertolak belakang dengan kaum objektivisme, yang beranggapan
pengetahuan adalah stabil sebab kekayaan esensial obyek pengetahuan dan secara
relative tidak berubah-ubah.
2.
Tokoh – tokoh filsafat konstruktivisme
Ada banyak tokoh dalam aliran konstuktivisme
·
Konstruktivisme
Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa
kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan
melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2
tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau
12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan
Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa
bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional karakteristiknya
merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret
siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan
didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi
konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada
manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat
memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada
obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya.
(Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa
berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan
mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003:
59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali.
Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan
pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan
Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang
kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh
siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan
terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur
mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang
sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget
adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan
melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman
baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses
menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau
bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada
proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa
terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman
baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh
pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman
matematika yang telah dimilikinya
·
Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld
Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan
realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif
dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld
mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan
sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan
(model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan
cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri.
Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld
(dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai
berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap
individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan
pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru
harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa.
Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus
dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa,
siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal
ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan
konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima
siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan
mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga
siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan
berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu
mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang
diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan
oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya
pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat
kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.
·
Konstruktivisme
Menurut Tran Vui
Suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan
memfreksikan pengalaman - pengalaman sendiri. sedangkan teori Konstruktivisme
adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin
belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan
atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
·
Konstruktivisme
Menurut Vygotsky
Bahwa belajar bagi anak
dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau
discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang. Dalam
penjelasan lain mengatakan
bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
·
Konstruktivisme Menurut
John Dewey
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini
mengatakan bahawa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan
pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan.
Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
3.
Implikasi filsafat konstruktivisme dalam dunia
pendidikan
Penerapan pendidikan dengan pola
konstruktivisme diwujudkan dengan mengajak siswa secara aktif membangun
konsep-konsep kognitif. Guru tidak sekedar memberi, namun siswa mencari secara
aktif, dan mengembangkannya. Satu contoh misalnya dalam pembelajaran sains.
Siswa terlebih dahulu diajak untuk mengamati fenomena-fenomena alam yang ada
seperti pelangi, banjir, merebaknya hama tanaman tertentu. Melalui fenomena
yang ada, guru mengarahkan siswa untuk mencari penyebabnya. Siswa menemukan
sendiri penyebab terjadinya pelangi, banjir ataukah hama. Pengetahuan tidak
berhenti sampai di sini, pengetahuan siswa tentang penyebab terjadinya banjir,
digunakan siswa untuk mencari solusi pencegahan banjir yang banyak terjadi.
Penerapan solusi pencegahan banjir, memerlukan pengetahuan-pengetahuan yang
baru, disinilah terlihat dinamikan pengetahuan. Pengetahuan semakin berkembang
pada diri siswa, dan dicari sendiri secara aktif oleh siswa. Pengetahuan baru
ini juga menciptakan perbaikan, banjir berkurang. Dan pengetahuan baru jelas
merupakan tindakan bermakna, sebab memberikan manfaat pada perbaikan
lingkungan. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah
bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan
proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan
realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas
dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas
pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara
konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta
didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah
laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
Dalam proses pembelajaran, guru harus memberi peluang
seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan
antara peserta didik dengan guru, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab
bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan
memberikan pertanyaan, tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus
dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi
kelompok, menulis, dialog dan presentasi di depan teman yang lain.
a)
Peran Guru
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru
mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses
belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada
peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi
sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas
antara lain sebagai berikut (Suparno, 1997: 65-66):
1)
Menyediakan
pengalaman belajar, yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggungjawab dalam
membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model
ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2)
Guru
menyediakan pertanyaan atau memberikan kegiatan yang mampu merangsang
keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk
pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir
peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
mendukung belajar peserta didik. Guru hendaknya menyemangati peserta didik dan
bukannya sebaliknya. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman
konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan
pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan
menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
3) Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Guru membantu
dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Yang perlu diperhatikan dari guru jika menganut pagam
konstruktivis ini adalah membiarkan peserta didik menemukan sendiri cara
pemecahan masalah yang dihadapi (Adisusilo, 2006:14). Terkadang peserta didik
menempuh cara yang kurang rasional dantidak efektif. Guru tidak boleh langsung
menyalahkan, tetapi mencoba memberikan atau memberikan stimulus untuk peserta
didiknya agar mengetahui alternatif lain cara pemecahan masalah yang dihadapi. Dengan
demikian, ada proses menemukan sendiri jawaban yang sedang dicari. Hal tersebut
merupakan pengalaman yang baik untuk bekal ke depan dalam memecahkan
permasalahan.
Guru juga dituntut untuk mengetahui banyak hal,
sehingga pembelajaran sepanjang masa sangat cocok untuk paham konstruktivisme.
Dalam proses penemuan solusi pemecahan, peserta sering kali bertanya banyak hal
karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Guru dituntut untuk mampu mencari
jawaban-jawaban dari pertanyaan peserta didik.
b)
Metode
Pembelajaran
Konstruktivisme tidak hanya berpengaruh kepada model
dan metode pembelajaran di kelas, namun juga mempengaruhi kurikulum sampai
kepada evaluasi pembelajran. Kurikulum yang menganut paham konstruktivisme akan
menyajikan pelajaran dengan utuh (holistik) dengan sangat memperhatikan proses
dan hasil (Adisusilo, 2006:15). Termasuk penilaian hasil belajar peserta didik,
guru harus juga melakukan penilaian proses, dapat digunakan semacam portofolio
kumpulan karya peserta didik. Tidak seperti penilaian yang telah lalu, guru
hanya menitik beratkan pada hasil, itupun ranah kognitif saja.
Guru yang telah memahami bagaimana pengetahuan
didapatkan peserta didik dan tugasnya dalam mendidik, maka guru dapat merancang
metode pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman kepada peserta didik.
Dalam konstruktivisme, metode yang mampu menyediakan pengalaman belajar yang
baik antara lain metode tanya jawab, inkuiri dan komunitas belajar.
Metode tanya jawab dibutuhkan untuk mengukur sejauh
mana peserta didik mengenali materi pembelajaran yang akan dipelajari. Dengan
bertanya guru juga mampu memberikan motivasi dan rasa ingin tahu sehingga
peserta didik lebih antusias dalam belajar. Dibawah ini hal yang dapat
diperoleh dari guru dengan metode tanya jawab :
1)
Menggali
informasi yang telah diketahui peserta didik
2)
Mengecek
pemahaman peserta didik
3)
Membangkitkan
motivasi dan respon peserta didik
4)
Mengetahui
sejauh mana keinginan peserta didik dalam belajar
5)
Memfokuskan
perhatian peserta didik
6)
Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik (Adisusilo, 2006:19)
Selanjutnya adalah metode inkuiri yang pada dasarnya
menggunakan pendekatan konstruktivistik, dimana setiap siswa sebagai subyek
belajar dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan
interaksi antara pengetahuan yang telah diketahui dengan fenomena, ide atau
informasi baru yang didapatkan. Proses belajar tidak dapat memisahkan antara
aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara
dialogis (Saliman, 2010).
Comments
Post a Comment